Covid-19 dalam Sudut Pandang Penyandang Disabilitas

Saat adanya penyebaran virus yang belum ada obatnya, banyak orang hanya berfikir bahwa yang terdampak hanya golongan tanpa disabilitas saja. Tapi apa bener seperti itu?

Banyak yang ngeluh gak bisa nongkrong, kemana-kemana harus pake masker, sesek, make-up gak keliatan, bau mulut dinikmati sendiri, gak bisa ibadah, penghasilan berkurang dan banyak yang diberhentikan dari tempat kerjanya.

Sebagian di antara kita juga mengeluh dan cenderung memiliki rasa takut jikalau harus kehilangan orang yang dikasihi karena Covid-19. Tapi pernah gak sih kalian ngebayangin kalau ternyata bahaya yang kalian hadapi lebih dari sekedar keluhan-keluhan di atas? Pengen ngeluh tapi gak bisa karena gak tau ngerasain apa? Sempet kepikiran gak kayak

Gimana ya nasibnya orang-orang penyandang disabilitas dalam situasi seperti sekarang ini?

Harus mulai diperhatikan, bahwa penyandangdisabilitas juga ikut terdampak. Banyak komentar gak manusiawi di socmed, seperti “orang disabilitas gak kena Covid-19, flu aja nggak” atau “makan tiap hari dari sampah, tapi sehat aja”.


Tutup kecap mana yang ngobrol kayak gitu? Padahal penyandang disabilitas itu justru termasuk dalam kelompok yang paling beresiko terkena Covid-19 dan paling dirugikan karenanya. Kenapa kok bisa gitu? Bukannya mereka harusnya termasuk dalam golongan yang aman dan terhindar dari Covid-19?

Sebelum ada Covid-19 ruang gerak mereka sudah terbatas, harusnya situasi kayak gini menguntungkan ya karena meminimalisir peluang tertular. Tapi kenyataannya gak gitu, karena banyak diantara mereka yang tergantung pada kita yang non disabilitas, untuk membantu kehidupan sehari-harinya. Siapa pembawa virusnya kalau gitu? Ya kita, siapa lagi?

Baca juga:
Kuliah tanpa 8640 € dalam Rekening Bagi yang Sudah Ada di Jerman

Penyandang Disabilitas rawan terkena Covid-19

Saat ini aku kerja di salah satu lembaga sosial yang tugasnya merawat golongan disabilitas mental. Mereka atau yang kami sebut Bewohner, tinggal di Wohnheim atau panti dan berinteraksi dengan kami 24 jam. Kami yang mandikan, kasih obat, ajak jalan-jalan, belanja, main dan bahkan ke disco.

Emang mereka udah gak punya keluarga lagi yang mau ngurus?

Ada, tapi penghuni panti sendiri rata-rata lahir di tahun 1970an, kebayang dong sekarang umur orang tuanya berapa? Mereka dititipkan di panti supaya bisa terpantau juga kesehatannya, entah itu dari obat-obatan atau hal lainnya. Selain itu mereka punya riwayat kesehatan yang harus diperhatikan, seperti terbatasnya volume paru-paru, daya imun yang lemah juga penyakit jantung.

Lebih bahaya lagi sebagian memiliki kelumpuhan pada tulang belakang leher, sehingga gak bisa batuk kalau ada sesuatu di saluran pernafasannya. Kebanyakan kaum disabilitas mental gak bisa merasakan rasa sakit. Atau bisa ngerasain sakit, tapi gak bisa kasih deskripsi seperti apa, jadi kebanyakan gak sadar kalau mereka sebenarnya sakit. Jadi yang bilang orang dengan disabilitas mental gak pernah sakit, sekarang mulai belajar hal baru ya 🙂

Foto ini diambil dari Website Volksfreund.de dalam pemberitaan mengenai dampak corona bagi penyandang disabilitas mental.
Foto tempat kerjaku diambil dari website Volksfreund.de

Baca juga:
Kerja di Jerman: Ternyata punya SIM itu Penting

Dilarang Bertemu atau di Kunjungi Keluarga

Semenjak adanya positiv Covid-19 di Trier, pihak panti langsung menghimbau bahwa penghuni panti dilarang pulang ke rumahnya saat weekend. Selain itu keluarga juga dilarang untuk datang ke panti. Ada yang berpikir ini mudah bagi mereka? Salah. Justru efeknya lebih terlihat jelas di mereka, karena sebagian gak memiliki pengertian mengenai betapa bahayanya Covid-19.

Yang mereka tahu hanya “akhir pekan, ketemu keluarga”, tapi nyatanya keluarga mereka gak akan pernah datang. Bayangkan dari akhir Februari sampai saat ini, banyak yang belum bertemu orang tuanya. Yang sedih itu saat mama salah satu penghuni ada yang hampir meninggal, tapi dia cuma boleh liat dari jauh. Gak boleh berdiri di sampingnya, apalagi kasih pelukan dan ciuman perpisahan.

Hari minggu besok di Jerman adalah hari ibu, hampir semua penghuni beramai-ramai bikin kartu ucapan. Ada salah satu yang ibunya baru meninggal, dia mengurung diri di kamar di saat penghuni lain asyik mewarnai kartu ucapan. Bahkan untuk pergi ke makam ibunya saja kami harus mikir keras dan berkonsultasi dengan pimpinan panti.

Apa Kata Penyandang Disabilitas tentang Covid-19?

Ada yang mikir orang dengan disabilitas gak ngerti apa-apa? Jangan salah, beberapa di antara mereka setiap hari nonton berita di TV. Salah satu penghuni yang punya Autism setiap hari ngasih update berita yang dia tonton di TV. Bahkan ada satu lagi penghuni yang dengan lugasnya mengkritisi kebijakan pemerintah Jerman, karena sudah memperbolehkan toko dan sekolah untuk kembali buka.

Aku gak ngerti dengan kebijakan pemerintah yang sudah memperbolehkan toko-toko, restaurant, serta sekolah untuk kembali dibuka. Ini masih terlalu cepat, kita harus bersabar. Kita pasti bisa melewati semua ini dengan baik. Aku khawatir kalau ini dibiarkan, dampaknya akan sangat parah dalam enam minggu ke depan.

Kritik dari salah satu penghuni di panti – Brian, 51 tahun.

Aku lalu bercerita pengalaman saat berbelanja ke supermarket sejak dimulainya kebijakan baru. Banyak orang beramai-ramai pergi belanja udah kayak mau tamasya keluarga. Ayah, ibu, sama dua anaknya ikut dibawa. Ada juga suami, istri beserta dua orang tuanya, karena aturan “hanya boleh pergi berdua” sudah mulai ada yang tidak mematuhi.

Sebaiknya kalau belanja tidak perlu banyak orang yang ikut, toh yang bayar cuma satu. Kan bisa ditulis pesanannya apa, kalau mau bantu bisa nunggu di mobil atau di luar. Tidak perlu ikut masuk ke supermarket.

Brian, 51 tahun.

Pesan Cinta dari Mereka

Aku sehat, karena diam di panti dan gak kemana-kemana. Kalau corona selesai, aku bisa pulang ke rumah. Bisa makan es krim, ayam goreng, naek traktor dan ngasih makan domba.

Chris, 38 tahun.

Kalau semuanya sudah lewat, aku mau ke rumah nenek dan makan yang banyak. Makanan disini tak seenak masakan nenek. Aku turun berat badan dan itu gak bagus.

Niki, 41 tahun.

Kalau corona sudah selesai, aku bisa datang ke bengkel dan ketemu pacarku lagi.

Markus, 39 tahun.

Aku akan pergi ke bengkel lagi dan bekerja dengan lebih keras lagi setelah corona selesai.

Stefan, 60 tahun.

Semangat ya kalian semuanya, mereka juga semangat, kita harus lebih semangat. Jaga kesehatan dan semoga kita semua sehat selalu.

Baca juga:
Kerja Freelance bagi Mahasiswa Non EU di Jerman

Yuk bagikan informasi ini!

Leave a Reply

Instagram
YouTube
YouTube
LinkedIn
LinkedIn
Share
Ikuti Lewat Email
RSS